AHLAN WA SAHLAN

Forum Diskusi dan Artikel Mahasiswa STAI Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau

PENINJAUAN LOKASI KAMPUS STAI SAR DI BINTAN

Insya Allah, Tahun 2013 STAI SAR berstatus Negeri, Mohon do'a restunya

PENINJAUAN LOKASI KAMPUS STAI SAR DI BINTAN

Insya Allah, Tahun 2013 STAI SAR berstatus Negeri, Mohon do'a restunya

SUASANA SEBELUM ACARA PELETAKAN BATU PERTAMA STAI SAR DI CERUK IJUK, BINTAN

Dihadiri oleh seluruh elemen Mahasiswa dan Kampus STAI SAR, Menteri Agama Suryadharma Ali, Gubernur Kepulauan Riau Muhammad Sani, Bupati Bintan Anshar Ahmad, DPRD Provinsi Ing.Iskandarsyah, Ketua STAI SAR Drs.H.Razali Jaya, dan lain-lain

SUASANA SEBELUM ACARA PELETAKAN BATU PERTAMA STAI SAR DI CERUK IJUK, BINTAN

Insya Allah, Tahun 2013 STAI SAR berstatus Negeri, Mohon do'a restunya

PENINJAUAN LOKASI KAMPUS STAI SAR DI BINTAN

Insya Allah, Tahun 2013 STAI SAR berstatus Negeri, Mohon do'a restunya

Rabu, 18 April 2012

Salafi DB
Program ini memang sudah dari sumbernya bernama itu, sehingga kami tidak berhak memberi nama yang lainnya.
Program ini sangat membantu kita, khususnya bagi para pelupa, karena di dalamnya kita dapat menggunakan fungsi 'search' dengan mengetikkan kata kunci yang mau kita cari (contoh : haid), maka dengan kita menekkan enter, langsung terbuka ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits serta Artikel yang menyangkut permasalahan itu (haid).

Program ini juga terdapat Kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Bulughul Maram - Ibnu Hajar Al-Ashqolani, Tafsir Ibnu Katsir (Bhs.Inggris), Syarah dan Terjemah Kitab Riyadhus Shalihin - Imam An Nawawi, E-book, dan lain-lain.

Silahkan download program ini dengan klik ini . Semoga bermanfaat...

Selasa, 17 April 2012

Mendidik Anak Cara Rasulullah


Salah satu amal yang tidak pernah terputus pahalanya sekalipun kita telah meninggalkan dunia ini adalah anak yang shalih. Doa anak yang shalih merupakan salah satu doa yang insya Allah pasti terkabul. Karenanya, orang tua harus mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Memang, tak mudah membesarkan anak hingga menjadi pribadi ideal, meraih sukses dunia-akhirat. Butuh kesabaran, kerja keras, keikhlasan, dan masih banyak lagi. Tanpa bermaksud menyederhanakan, berikut beberapa tips yang diaplikasikan oleh orang tua yang disarikan dari tata cara mendidik anak ala Rasulullah SAW:
1. Menanamkan Nilai-nilai Tauhid
Mengajarkan tauhid kepada anak, mengesakan Allah dalam hal beribadah kepada-Nya, menjadikannya lebih mencintai Allah daripada selain-Nya, tidak ada yang ditakutinya kecuali Allah. Selain itu, orang tua harus menekankan bahwa setiap langkah manusia selalu dalam pengawasan Allah Swt. dan penerapan konsep tersebut adalah dengan berusaha menaati peraturan dan menjauhi larangan-Nya. Orang tua selaku guru pertama bagi anak-anaknya harus mampu menyesuaikan tingkah lakunya dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam. Ini adalah pendidikan yang paling penting di atas hal-hal penting lainnya.
2. Menjadi Sahabat dan Mendidik dengan Keteladanan
Setiap anak akan belajar dari lingkungannya dan dalam hal ini lingkungan keluarga akan sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadiannya. Orang-orang di sekelilingnya akan menjadi model dan contoh dalam bersikap. Orang tua harus menjadi teladan anak-anaknya. Beri contoh yang baik sesuai nasihat dan ucapannya kepada para anak. Akan lucu jika yang disampaikan orang tua kepada anak-anaknya ternyata tidak dilakukan oleh orang tua itu sendiri. Keteladanan sangat menentukan, terlebih di zaman sekarang media tontonan tidak dapat diharapkan menjadi contoh yang baik bagi pembentukan akhlak anak-anak Muslim.
3. Mendidik dengan Kebiasaan
Kebaikan harus dimulai dengan pembiasaan. Anak harus dibiasakan bangun pagi agar mereka gemar melaksanakan shalat subuh. Anak harus dibiasakan ke masjid agar mereka gemar melakukan berbagai ritual ibadah di masjid. Pembiasaan itu harus dimulai sejak dini, bahkan pembiasaan membaca Alquran pun bisa dimulai sejak dalam kandungan. Pembiasaan shalat pada anak harus sudah dimulai sejak anak berumur tujuh tahun.
4. Menumbuhkan Rasa Percaya Diri Anak
Sebagai upaya menumbuhkan rasa percaya diri anak, Rasulullah SAW menggunakan beberapa cara berikut. Saat sedang berpuasa, Rasulullah mengajak anak-anak bermain sehingga siang yang panjang terasa cepat. Anak-anak akan menyongsong waktu berbuka dengan gembira. Hal ini juga membuat anak memiliki kepercayaan diri sehingga sanggup berpuasa sehari penuh. Sering membawa anak-anak ke majelis orang dewasa, resepsi, atau bersilaturahim ke rumah saudara sebagai upaya menumbuhkan kepercayaan diri sosialnya. Mengajari Alquran dan Sunnah serta menceritakan sirah nabi untuk meningkatkan kepercayaan diri ilmiahnya. Menanamkan kebiasaan berjual-beli untuk meningkatkan kepercayaan diri anak terkait ekonomi dan bisnis. Di samping itu, sejak dini anak akan terlatih mandiri secara ekonomi.
5. Memotivasinya Anak Berbuat Baik
Seorang anak, meski kecil, juga terdiri atas jasad dan hati. Mereka dilahirkan dalam keadaan bersih dan suci sehingga hatinya yang putih dan lembut itu pun akan mudah tersentuh dengan kata-kata yang hikmah. Anak-anak, terutama pada usia emas (golden age), cenderung lebih mudah tersentuh oleh motivasi ketimbang ancaman. Karenanya, hendaknya orang tua tidak mengandalkan ancaman untuk mendidik buah hati. Lebih baik orang tua memotivasi anak dengan mengatakan bahwa kebaikan akan mendapat balasan surga dengan segala kenikmatannya. Itu pulalah yang dicontohkan  Rasulullah kepada kita ketika beliau mendidik para sahabat.

Bisnis Tanpa Modal


Banyak orang beralasan tak berbisnis karena tak punya modal. Padahal kalau kita mau dan kreatif, ada  banyak  ide  bisnis  menjadi  Muslim entrepreneur tanpa modal asal tahu caranya. Bagaimana caranya ?
Nabi  kita  Muhammad  SAW  sudah  ikut  berbisnis dengan pamannya Abu Thalib sejak kanak-kanak. Hingga beliau beranjak remaja Muhammad muda sudah belasan kali keluar negeri berdagang ke negeri Syam tanpa modal dengan  membawa  dagangan  orang  lain.  Bahkan kepiawaian  beliau  dalam  berbisnis  mengundang  decak kagum kompetitornya sehingga beliau digelari 'al Amin'.
Tanpa Modal
Tidak semua bisnis harus menggunakan modal (uang) sendiri. Anda bisa menggunakan leverage (daya ungkit), misalnya jika tidak punya modal duit gunakan DOL (Duit Orang Lain) seperti Muhammad muda bekerja sama dengan Siti Khadijah selaku investor dan beliau sebagai manajer ulung,  pengelola    yang  tangguh  dan  profesional  serta terpercaya.  Kalau  tidak  punya  tempat  gunakanlah  TOL (Tempat Orang Lain). Tidak punya keahlian, gunakan KOL (Keahlian Orang Lain).
Tentu ada caranya agar orang lain mau memberikan modal (DOL, TOL dan KOL) :
1. Miliki  kelebihan  yang  tidak  dimiliki  orang  lain (unik), seperti Rasulullah memiliki kredibilitas yang panjang dan teruji kepiawaiannya berbisnis.
2. Miliki ide produktif (yang menghasilkan) yang mudah dikomunikasi kepada investor (pemodal) sehingga keyakinannya tumbuh untuk kerja sama dengan Anda.
3. Miliki visi dan misi bisnis yang terarah dan jelas, yang manfaatnya selalu disandarkan kepada  perintah dan larangan Allah SWT.
4. Miliki mentor (pembimbing) di bidang bisnis yang akan Anda tekuni, seperti Muhammad di masa kecilnya dimentoring oleh pamannya Abu Thalib.
5. Miliki  kekuatan  DST  (Dhuha,  Sedekah  dan Tahajjud) untuk mendapatkan daya ungkit keridhaan Allah SWT agar bisnis yang kita kelola menghasilkan manfaat berupa 'berkat' dan berkah. Tentunya motivasi DST akan jauh lebih bermakna jika diarahkan bukan untuk semata-mata  kepentingan  kesuksesan  bisnis  kita  namun mengharap ridha Allah SWT sebagai konsekuensi keimanan kita pada-Nya. Kalau Allah sudah ridha terhadap bisnis kita niscaya keberkahan akan turun dari langit.
Cara Memulai
Modal tidak selalu identik dengan uang. Modal juga bisa  berupa  ide,  keahlian,  punya  tempat  usaha,  relasi, kejujuran  Anda  memegang  amanah  dan  lain-lain.  Jalan yang paling efektif memulai bisnis tanpa modal gunakan prinsip motivasi 2 K 1 A.


Pertama, Komunikasi (Kekuatan Silaturahim)
Kekuatan  komunikasi  sangat  dahsyat  jika  Anda lakukan secara intensif. Bila Anda punya skill, komunikasikan pada orang lain agar pemilik modal bisa diyakinkan untuk bekerja sama dengan Anda. Boleh jadi keahlian Anda cocok dengan bidang yang mereka cari. Tempat tinggal Anda boleh jadi strategis untuk membuka lapangan usaha sesuai kebutuhan pasar.
Kedua, Komunitas (Kekuatan Berjamaah)
Pengalaman membuktikan bahwa cara paling cepat dan mudah menjalankan bisnis dengan cara berkomunitas. Masuki  sebuah  jamaah  pengusaha  karena  dengan berkumpul  dengan  mereka  Anda  akan  mendapatkan setidaknya tiga hal yaitu  informasi bisnis dan peluang kerja sama, relasi yang banyak, dan ilmu bisnis ala pengusaha.
Bila  sudah  berjamaah  akan  saling  bertemu  calon pengusaha Muslim yang punya modal tapi tidak punya keahlian dan tidak punya tempat; punya tempat tetapi tidak punya modal dan tidak punya keahlian; dan punya keahlian tetapi tidak punya modal dan tempat usaha. Jika ketiga komponen ini disatukan dan melakukan aqad-aqad syar'i insya Allah kita bisa memulai bisnis.
Ketiga, Action dengan Doa dan Ikhtiar
1. Kekuatan Doa
Allah Swt telah memotivasi kita dalam Firman-Nya :
“…Bahwasanya Aku adalah dekat, Aku mengabulkan permohonan  orang  yang  berdoa  apabila  memohon kepada-Ku…” (TQS. Al Baqarah (2):186).
Doa memiliki kekuatan yang unlimited dahsyat dan berefek (tak terbatas) bagi orang-orang yang bersungguh-sungguh dan yakin dengan pertolongan Allah.


2. Kekuatan Tindakan
Sesungguhnya  Allah  tidak  akan  mengubah  nasib seseorang (kaum) jika dia tidak merubah dirinya (action) dulu” (QS. Ar Ra'd (13):11)
Ayat di atas adalah kekuatan tindakan yang sangat menentukan nasib seseorang. Sebagai pengusaha Muslim Anda jangan pikirkan ketidakmampuan Anda melainkan pikirkan saja ke-Mahakuasaan Allah SWT.
Keberanian bertindak adalah ciri kesuksesan. Orang sukses selalu bertindak lebih banyak. Apapun bisnis Anda, bergerak di bidang jasa atau produk, hasilnya bisa Anda lihat kalau Anda action.
Ketika Anda sudah memiliki ide bisnis lakukan saat itu juga  tindakan  positif,  tindakan  yang  produktif. Komunikasikan secepat mungkin agar lebih banyak orang tahu usaha Anda. Intinya, jangan pikirkan apa yang akan Anda kerjakan, tetapi kerjakan apa yang Anda pikirkan. Bersama Allah bisnis Anda akan penuh 'berkat' (profit yang tumbuh dan sinambung) dan berkah.[]

Harta Gono-gini Perceraian Suami-Isteri


Harta suami dan isteri dalam masa perkawinan mereka tidak lepas dari 3 (tiga) kategori berikut :
Pertama, harta milik suami saja, yaitu harta yang dimiliki oleh suami tanpa kepemilikan isteri. Misal harta yang diperoleh dari hasil kerja suami, atau harta yang dihibahkan oleh orang lain kepada suami secara khusus, atau harta yang diwariskan kepada suami, dan sebagainya.

Kedua, harta milik isteri saja, yaitu harta yang dimiliki oleh isteri saja. Misal harta yang dari diperoleh hasil kerja isteri, atau harta yang dihibahkan oleh orang lain khusus untuk isteri, atau harta yang diwariskan kepada isteri, dan lain-lain.

Ketiga, harta milik bersama suami isteri. Misalnya harta yang dihibahkan oleh seseorang kepada suami isteri secara bersamaan, atau harta benda (misalnya mobil, rumah, TV) yang dibeli oleh suami isteri dari uang mereka berdua (patungan), atau harta yang sudah sulit diidentifikasi milik suami ataukah isteri, dan sebagainya.

Harta kategori ketiga inilah yang disebut dengan istilah harta gono gini, yaitu harta milik bersama suami isteri yang diperoleh sepanjang masa perkawinan mereka. Dalam istilah fiqih, harta milik bersama ini disebutsyirkah amlak, yaitu kepemilikan bersama atas suatu benda (syarikah al-'ain), semisal kepemilikan bersama atas harta yang diwarisi oleh dua orang, atau harta yang dibeli oleh dua orang, atau harta yang dihibahkan orang lain kepada dua orang. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 150). Inilahmanath (fakta) yang hendak dihukumi. Bagaimana pembagian harta gono gini ini menurut syara'?

Sesungguhnya syara' tidak membagi harta gono gini ini dengan bagian masing-masing secara pasti (fixed,tsabit), misalnya isteri 50 % dan suami 50 %. Sebab sejauh pengetahuan kami tidak ada nash yang mewajibkan demikian, baik dari Al-Kitab maupun As-Sunnah. Pembagiannya bergantung pada kesepakatan antara suami dan isteri berdasarkan ash-shulhu (perdamaian) di antara suami isteri. Dalilnya adalah hadits dari 'Amr bin 'Auf Al-Muzni RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Perdamaian adalah boleh, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan [perdamaian] yang menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin [bertindak] sesuai syarat-syarat di antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan syarat yang menghalalkan yang haram." (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi, dan disahihkan oleh Tirmidzi) (Imam Ash-Shan'ani, Subulus Salam, 4/246, hadits no. 821; Imam Syaukani, Nailul Authar, 8/463, hadits no.2325)

Imam Ash-Shan'ani memberi syarah (penjelasan) hadits di atas bahwa di antara macam perdamaian adalah perdamaian antara suami isteri dan perdamaian untuk memberikan sejumlah harta kepada lawan sengketa jika terjadi pada harta milik bersama (amlak). (Imam Ash-Shan'ani, Subulus Salam, 4/247).
Dengan demikian, jika suami isteri bercerai dan hendak membagi harta gono gini di antara mereka, dapat ditempuh jalan perdamaian (ash-shulhu). Sebab salah satu jenis perdamaian adalah perdamaian adalah perdamaian antar suami isteri, atau perdamaian tatkala ada persengketaan mengenai harta bersama (amlak).

Dengan perdamaian, pembagian harta gono gini bergantung pada musyawarah antara suami isteri. Boleh suami mendapat 50 % dan isteri 50 %. Boleh suami mendapat 30 % dan isteri 70 %, boleh pula suami mendapat 70 % dan isteri 30 %, dan boleh pula pembagian dengan persentase-persentase yang lain. Semuanya dibenarkan syara', selama merupakan hasil dari perdamaian yang telah ditempuh berdasarkan musyawarah dan kerelaan masing-masing pihak. Wallahu a’lam.[]


Kenikmatan Dunia yang Menipu


Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu (TQS al-Hadid [57]: 20).

Kesenangan dunia kadang melenakan. Tak sedikit manusia yang terlena olehnya. Seolah dunia adalah segala-galanya sehingga seluruh hidupnya dicurahkan untuk meraihnya. Untuk itu, mereka pun lupa dan lalai mempersiapkan bekal untuk kehidupan akhirat. Padahal, suatu saat mereka harus berpisah dengan kehidupan dunia. Segala kenikmatan dan kesenangan dunia pun berakhir. Sementara mereka tak memiliki bekal untuk akhirat. Ketika itu terjadi, yang muncul adalah penyesalan tak berujung.
Agar tiada ada penyesalan, maka kehidupan dunia harus dipahami dengan benar. Ayat ini memberikan penjelasan yang benar mengenai hakikat kehidupan dunia.

Hanya Permainan dan Perhiasan
Allah SWT berfirman: I’lamû annamâ al-hayâh al-dun-yâ la’ib wa lahw wa zînah (ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan, suatu yang melalaikan, dan perhiasan). Kandungan ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya. Dalam ayat sebelumnya diberitakan mengenai adanya dua golongan manusia. Pertama, orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Dan kedua, orang-orang yang ingkar dan mendustakan ayat-ayat Allah. Mereka ini dipastikan menjadi penghuni neraka.

Kemudian dalam ayat ini dijelaskan tentang hakikat kehidupan dunia. Disebutkan bahwa kehidupan dunia tak lebih sebagai la’ib[un] wa lahw[un] wa zînat[un] (permainan, sesuatu yang melalaikan, dan perhiasan).

Menurut al-Biqai, al-la’ib berarti ta’ib lâ tsamrah lahu (keletihan yang tidak memberikan hasil). Sesuatu yang batil seperti mainan anak-anak. Al-Alusi juga mengatakan, ungkapan tersebut untuk menggambarkan bahwa dunia merupakan sesuatu yang remeh. Sesuatu yang tidak akan membuat tertarik orang-orang berakal, apalagi merasa tenteram. Sebab, dunia adalah permainan yang tidak menghasilkan sesuatu kecuali keletihan.

Adapun al-lahw, menurut al-Biqa’i, adalah sesuatu yang menyenangkan manusia, hingga dapat melalaikan dan memalingkan dari perkara yang berguna, kemudian berakhir seperti permainan anak-anak muda.

Sedangkan zînah adalah sesuatu yang menyenangkan mata dan jiwa seperti halnya perhiasan perempuan. Menurut Abdurrahman al-Sa’di, perhiasan tersebut menghiasi pakaian, makanan, minuman, kendaraan, tempat tinggal, istana, dan kehormatan. Allah SWT berfirman: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang (TQS Ali Imran [3]: 14).

Di samping itu juga: wa tafâkhur baynakum (dan bermegah-megah antara kamu). Kata al-tafâkhur berarti al-takabbur, yakni saling berlomba-lomba, memamerkan, dan membanggakan diri dengan harta, nasab, kemuliaan, dan kedudukan mereka. Rasulullah SAW bersabda: Empat perkara pada umatku yang termasuk perkara jahiliyyah yang tidak mereka tinggalkan adalah berbangga-bangga dalam ahsâb (kemuliaan leluhur)(HR Muslim dan Ahmad).

Disebutkan pula: wa takâtsur fî al-amwâl wa al-awlâd (serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak). Artinya, masing-masing orang menginginkan lebih banyak daripada yang lain dalam harta dan anak-anak. Demikian Abdurrahman al-Sa’di dalam tafsirnya.

Menurut sebagian mufassir, sebagaimana dikutip Ibnu al-Jauzi dalam Zâd al-Masîr, apa yang disebutkan dalam ayat ini adalah keadaan orang kafir terhadap kehidupan dunia.

Akan Lenyap Tak Bersisa
Setelah tentang kehidupan dunia, kemudian diberitakan bahwa semua kesenangan dan kebanggaan mereka itu akan lenyap tak bersisa. Realitas ini digambarkan dalam kalimat selanjutnya: Kamatsali ghayts a’jaba al-kuffâr nabâtuhu (seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani). Menurut al-Razi, kata al-ghayts berarti al-mathar (hujan). Ini sebagaimana disebutkan dalam QS al-Kahfi [18]: 45. Sedangkan yang dimaksud dengan al-kuffâr di sini, ada dua pendapat. Pertama, bermakna al-zurrâ’ (petani). Para petani itu terpesona dengan tanaman-tanaman yang tumbuh subur akibat hujan lebat. Menurut al-Azahari, orang Arab menyebut petani sebagai al-kâfir karena menutup benih yang ditanam dalam tanah. Kedua, orang-orang yang ingkar kepada Allah SWT. Mereka jauh lebih terpesona terhadap keindahan dunia dan isinya dibandingkan kaum Mukmin. Penyebabnya, mereka tidak melihat kebahagiaan lain selain kehidupan dunia.

Tanaman yang terlihat subur, hijau, dan memesona tersebut kemudian berubah. Allah SWT berfirman: tsumma yahîju fatarâhu mushfarr[an] (kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning). Katayahîju berarti yajiffu wa yaybasu (kering) setelah berwarna.

Sedangkan fatarâhu mushfarr[an] menggambarkan bahwa tanaman tersebut telah berubah; yang sebelumnya hijau dan segar menjadi kuning dan layu. Demikian penjelasan al-Syaukani dalam tafsirnya Fat-h al-Qadîr.

Bahkan lebih dari itu: tsumma yakûnu khuthâm[an] (kemudian menjadi hancur). Al-Syaukani memaknai frase ini sebagai futât[an] hasyîm[an] mutakassir[an] mutahathim[an] (hancur,  remuk, dan berkeping-keping).
Dengan demikian, kehidupan dunia diumpamakan seperti tanaman yang memesona orang-orang yang melihatnya karena warnanya yang hijau dan amat menyenangkan. Namun tak lama kemudian hancur seolah-olah tidak pernah ada.

Kehidupan Akhirat
Setelah diingatkan tentang hakikat kehidupan dunia, kemudian dijelaskan mengenai keadaan di akhirat. Di akhirat kelak hanya ada dua keadaan. Pertama, azab yang pedih. Allah SWT berfirman: Wa fî al-âkhirah ‘adzâb syadîd (dan di akhirat [nanti] ada adzab yang keras). Azab yang pedih tersebut ditimpakan kepada orang-orang yang mengingkari Allah SWT dan ayat-ayat-Nya. Juga orang-orang yang tertipu dengan gemerlap dunia dan melupakan akhirat.

Dan kedua, ampunan dan ridha-Nya. Allah SWT berfirman: wa maghafirah minal-Lâh wa ridhwân (dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya). Ampunan dan ridha Allah SWT itu diberikan kepada para walinya danahl al-thâ’atihi (pelaku ketaatan kepada-Nya).  Hal ini juga dtegaskan dalam banyak ayat, seperti QS al-Mulk [67]: 12.

Di akhir ayat ini kembali ditegaskan: wa mâ al-hayâh al-dun-yâ illâ matâ’ al-ghurûr (dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu). Dalam kehidupan kehidupan dunia memang terdapat kesenangan dan kenikmatan. Namun semua itu merupakan ujian dan cobaan bagi manusia. Jika manusia terpedaya dengan ujian dan cobaan tersebut; habisan-habisan mengejarnya hingga melupakan akhirat, maka dia telah tertipu. Di akhirat mendapatkan siksa yang pedih.
Namun sebaliknya, jika kenikmatan tersebut digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan pahala dan ridha-Nya, maka dia telah sukses menghadapi cobaan tersebut. Said bin Jubair berkata, “Dunia merupakan kesenangan yan menipu apabila melalaikan kamu dari mencari ke akhirat. Ada pun jika mengajakmu kepada mencari ridha Allah dan akhirat, maka itu sebaik-baik wasilah (sarana).”
Inilah pandangan yang benar tentang hakikat kehidupan. Jangan sampai menjadi orang yang tertipu dengan gemerlap dunia, melupakan akhirat!
Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.[]

Hukum Waris untuk Anak Tiri


Anak tiri adalah anak salah seorang suami atau istri sebagai hasil perkawinannya dengan istri atau suaminya terdahulu. Misal, anak tiri dari seorang ayah, ialah anak istrinya yang baru sebagai hasil perkawinannya dengan suaminya terdahulu. Sebaliknya anak tiri seorang ibu, ialah anak suaminya yang baru sebagai hasil perkawinannya dengan istrinya terdahulu. (Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, hal. 84).

Anak tiri bukan ahli waris, sebab antara anak tiri dengan orang tua tirinya tidak terdapat sebab mewarisi (asbabul mirats). Maka anak tiri tak dapat saling mewarisi dengan orang tua tirinya. 
Sebab mewarisi (asbabul mirats) hanya tiga saja, yaitu :

Pertama, sebab kekerabatan (qarabah), atau disebut juga sebab nasab (garis keturunan), yaitu antara mayit dan ahli waris ada hubungan kekerabatan yang hakiki, baik hubungan ke atas (disebut ushul), misalnya mayit dengan ibunya atau ayahnya; maupun hubungan ke bawah (disebut furu') misalnya mayit dengan anaknya, cucunya, dst. 

Kedua, sebab perkawinan (mushaharah), yaitu antara mayit dengan ahli waris ada hubungan perkawinan, seperti mayit laki-laki dengan istrinya. Yang dimaksud hubungan perkawinan adalah perkawinan yang sah menurut hukum Islam walaupun belum pernah bercampur bukan perkawinan yang tak sah, dan perkawinan yang masih utuh (tak bercerai) atau perkawinan yang dianggap utuh (sudah bercerai) tapi masih dalam masa iddah untuk talak raj'i, bukan talak ba`in. 


Ketiga, sebab memerdekakan budak (wala`), atau disebut juga sebab kekerabatan secara hukum (qarabah hukmiyah), yaitu antara mayit dan ahli warisnya ada hubungan memerdekakan budak. Jika seseorang memerdekakan budaknya, maka dia dan bekas budaknya akan saling mewarisi. Jika yang memerdekakan itu meninggal dan tak ada ahli waris dari pihak kerabat, bekas budaknya berhak mendapat warisannya. (Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, hal. 10; Imam Ar-Rahbi, Fiqih Waris (terj.), hal. 31; Syifa'uddin Achmadi, Pintar Ilmu Faraidl, hal. 18).

Jelaslah anak tiri tidak berhak mendapat waris, karena tidak terdapat sebab mewarisi (asbabul mirats) antara anak tiri dengan orang tua tirinya. Kaidah fiqihnya : Zawal al- ahkam bi zawal asbabiha (Hukum-hukum itu menjadi tiada disebabkan tiadanya sebab-sebabnya) (Izzuddin bin Abdis Salam, Qawa'id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, Juz II hlm. 4). 

Kaidah ini berarti jika sebab suatu hukum tak ada, pelaksanaan hukum juga tak ada. Yang dimaksud sebab adalah tanda-tanda (amarat) yang ditetapkan syara' untuk pelaksanaan suatu hukum (Taqiyuddin An-Nabhani, Al- Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz III hal. 50). Misalnya, tercapainya nishab untuk zakat, masuknya waktu untuk shalat, dan rukyatul hilal untuk puasa Ramadhan. Jika sebab- sebab ini tiada, pelaksanaan hukum pun juga tidak ada. Jika belum mencapai nishab, berarti belum wajib zakat, jika belum masuk waktu berarti belum wajib shalat, dan jika belum ada rukyatul hilal berarti belum wajib puasa. Demikian pula jika sebab mewarisi (asbabul mirats) tak ada, hukum waris pun tak dapat dilaksanakan.

Namun demikian, boleh bahkan disunnahkan orang tua tiri memberikan wasiat kepada anak tirinya, dengan syarat harta yang diwasiatkannya tidak melebihi 1/3 (sepertiga). Jika melebihi 1/3 (sepertiga), pelaksanaan wasiatnya bergantung pada persetujuan para ahli waris. Jika ahli waris setuju, wasiat boleh dilaksanakan. Jika ahli waris tidak setuju, tak boleh dilaksanakan, dan hanya dilaksanakan sebanyak 1/3 saja. (Abdullah at-Thayyar, Al-Washiyah Dhawabith wa Ahkam, hal. 23; Muslim Al-Yusuf, Al-Washiyah Al-Syar'iyyah, hal. 14). Wallahu a'lam.[]

Hukum Gadai Emas


Gadai emas adalah produk bank syariah berupa fasilitas pembiayaan dengan cara memberikan utang (qardh) kepada nasabah dengan jaminan emas (perhiasan/lantakan) dalam sebuah akad gadai (rahn). Bank syariah selanjutnya mengambil upah (ujrah, fee) atas jasa penyimpanan/penitipan yang dilakukannya atas emas tersebut berdasarkan akad ijarah (jasa). Jadi, gadai emas merupakan akad rangkap (uqud murakkabah, multi-akad), yaitu gabungan akad rahn dan ijarah. (lihat Fatwa DSN MUI No 26/DSN-MUI/III/2002 tentang gadai emas).
Menurut kami gadai emas haram hukumnya, dengan tiga alasan sebagai berikut :
Pertama, dalam gadai emas terjadi pengambilan manfaat atas pemberian utang. Walaupun disebut ujrah atas jasa penitipan, namun hakikatnya hanya rekayasa hukum (hilah) untuk menutupi riba, yaitu pengambilan manfaat dari pemberian utang, baik berupa tambahan (ziyadah), hadiah, atau manfaat lainnya. Padahal manfaat-manfaat ini jelas merupakan riba yang haram hukumnya. Dari Anas RA, bahwa Rasulullah SAW, ”Jika seseorang memberi pinjaman (qardh), janganlah dia mengambil hadiah.” (HR Bukhari, dalam kitabnya At-Tarikh Al-Kabir). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/341).

Imam Ibnul Mundzir menyebutkan adanya ijma’ ulama bahwa setiap tambahan atau hadiah yang disyaratkan oleh pihak yang memberikan pinjaman, maka tambahan itu adalah riba. (Al-Ijma’, hlm. 39).

Kedua, dalam gadai emas, fee (ujrah) untuk jasa penitipan/penyimpanan dibebankan kepada penggadai (rahin), yaitu nasabah. Padahal seharusnya biaya itu dibebankan kepada penerima gadai (murtahin), yaitu bank syariah, bukan nasabah. Dalilnya sabda Rasulullah SAW, ”Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya, dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan.” (HR Jama’ah, kecuali Muslim dan Nasa`i).

Menurut Imam Syaukani, hadits tersebut menunjukkan pihak yang menanggung biaya barang jaminan adalahmurtahin (penerima gadai), bukan rahin (penggadai). Alasannya, bagaimana mungkin biayanya ditanggungrahin, karena justru rahin itulah yang memiliki barang jaminan. Jadi, menurut Imam Syaukani, hadits itu memberikan pengertian bahwa jika faidah-faidah terkait dengan kepentingan murtahin, seperti penitipan (wadi’ah) barang jaminan, maka yang harus menanggung biayanya adalah murtahin, bukan rahin. (Imam Syaukani, As-Sailul Jarar, hlm. 275-276).

Ketiga, dalam gadai emas terjadi akad rangkap, yaitu gabungan akad rahn dan ijarah. Bagi kami akad rangkap tidak boleh menurut syara’, mengingat terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA, beliau berkata, ”Nabi SAW melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqatain fi shafqatin)” (HR Ahmad, Al-Musnad, I/398). Imam Syaukani dalam Nailul Authar mengomentari hadits Ahmad tersebut, ”Para periwayat hadits ini adalah orang-orang kepercayaan (rijaluhu tsiqat).” Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani hadits ini melarang adanya dua akad dalam satu akad, misalnya menggabungkan dua akad jual beli menjadi satu akad, atau menggabungkan akad jual-beli dengan akad ijarah. (Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/308).

Memang sebagian ulama telah membolehkan akad rangkap. Namun perlu kami sampaikan, ulama yang membolehkan pun, telah mengharamkan penggabungan akad tabarru’ yang bersifat non komersial (sepertiqardh atau rahn) dengan akad yang komersial (seperti ijarah). (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 29/62; Fahad Hasun, Al-Ijarah al-Muntahiyah bi At-Tamlik, hlm. 24).

Berdasarkan tiga alasan tersebut, gadai emas haram hukumnya. Kami tegaskan pula, fatwa DSN MUI mengenai gadai emas menurut kami keliru dan tidak halal diamalkan oleh kaum muslimin.
Wallahu a’lam