Selasa, 17 April 2012

Hukum Waris untuk Anak Tiri


Anak tiri adalah anak salah seorang suami atau istri sebagai hasil perkawinannya dengan istri atau suaminya terdahulu. Misal, anak tiri dari seorang ayah, ialah anak istrinya yang baru sebagai hasil perkawinannya dengan suaminya terdahulu. Sebaliknya anak tiri seorang ibu, ialah anak suaminya yang baru sebagai hasil perkawinannya dengan istrinya terdahulu. (Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, hal. 84).

Anak tiri bukan ahli waris, sebab antara anak tiri dengan orang tua tirinya tidak terdapat sebab mewarisi (asbabul mirats). Maka anak tiri tak dapat saling mewarisi dengan orang tua tirinya. 
Sebab mewarisi (asbabul mirats) hanya tiga saja, yaitu :

Pertama, sebab kekerabatan (qarabah), atau disebut juga sebab nasab (garis keturunan), yaitu antara mayit dan ahli waris ada hubungan kekerabatan yang hakiki, baik hubungan ke atas (disebut ushul), misalnya mayit dengan ibunya atau ayahnya; maupun hubungan ke bawah (disebut furu') misalnya mayit dengan anaknya, cucunya, dst. 

Kedua, sebab perkawinan (mushaharah), yaitu antara mayit dengan ahli waris ada hubungan perkawinan, seperti mayit laki-laki dengan istrinya. Yang dimaksud hubungan perkawinan adalah perkawinan yang sah menurut hukum Islam walaupun belum pernah bercampur bukan perkawinan yang tak sah, dan perkawinan yang masih utuh (tak bercerai) atau perkawinan yang dianggap utuh (sudah bercerai) tapi masih dalam masa iddah untuk talak raj'i, bukan talak ba`in. 


Ketiga, sebab memerdekakan budak (wala`), atau disebut juga sebab kekerabatan secara hukum (qarabah hukmiyah), yaitu antara mayit dan ahli warisnya ada hubungan memerdekakan budak. Jika seseorang memerdekakan budaknya, maka dia dan bekas budaknya akan saling mewarisi. Jika yang memerdekakan itu meninggal dan tak ada ahli waris dari pihak kerabat, bekas budaknya berhak mendapat warisannya. (Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, hal. 10; Imam Ar-Rahbi, Fiqih Waris (terj.), hal. 31; Syifa'uddin Achmadi, Pintar Ilmu Faraidl, hal. 18).

Jelaslah anak tiri tidak berhak mendapat waris, karena tidak terdapat sebab mewarisi (asbabul mirats) antara anak tiri dengan orang tua tirinya. Kaidah fiqihnya : Zawal al- ahkam bi zawal asbabiha (Hukum-hukum itu menjadi tiada disebabkan tiadanya sebab-sebabnya) (Izzuddin bin Abdis Salam, Qawa'id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, Juz II hlm. 4). 

Kaidah ini berarti jika sebab suatu hukum tak ada, pelaksanaan hukum juga tak ada. Yang dimaksud sebab adalah tanda-tanda (amarat) yang ditetapkan syara' untuk pelaksanaan suatu hukum (Taqiyuddin An-Nabhani, Al- Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz III hal. 50). Misalnya, tercapainya nishab untuk zakat, masuknya waktu untuk shalat, dan rukyatul hilal untuk puasa Ramadhan. Jika sebab- sebab ini tiada, pelaksanaan hukum pun juga tidak ada. Jika belum mencapai nishab, berarti belum wajib zakat, jika belum masuk waktu berarti belum wajib shalat, dan jika belum ada rukyatul hilal berarti belum wajib puasa. Demikian pula jika sebab mewarisi (asbabul mirats) tak ada, hukum waris pun tak dapat dilaksanakan.

Namun demikian, boleh bahkan disunnahkan orang tua tiri memberikan wasiat kepada anak tirinya, dengan syarat harta yang diwasiatkannya tidak melebihi 1/3 (sepertiga). Jika melebihi 1/3 (sepertiga), pelaksanaan wasiatnya bergantung pada persetujuan para ahli waris. Jika ahli waris setuju, wasiat boleh dilaksanakan. Jika ahli waris tidak setuju, tak boleh dilaksanakan, dan hanya dilaksanakan sebanyak 1/3 saja. (Abdullah at-Thayyar, Al-Washiyah Dhawabith wa Ahkam, hal. 23; Muslim Al-Yusuf, Al-Washiyah Al-Syar'iyyah, hal. 14). Wallahu a'lam.[]

0 komentar:

Posting Komentar