Anak tiri adalah anak salah
seorang suami atau istri sebagai hasil perkawinannya dengan istri atau suaminya
terdahulu. Misal, anak tiri dari seorang ayah, ialah anak istrinya yang baru
sebagai hasil perkawinannya dengan suaminya terdahulu. Sebaliknya anak tiri
seorang ibu, ialah anak suaminya yang baru sebagai hasil perkawinannya dengan
istrinya terdahulu. (Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, hal. 84).
Anak tiri bukan ahli waris,
sebab antara anak tiri dengan orang tua tirinya tidak terdapat sebab mewarisi
(asbabul mirats). Maka anak tiri tak dapat saling mewarisi dengan orang tua
tirinya.
Sebab mewarisi (asbabul mirats)
hanya tiga saja, yaitu :
Pertama, sebab kekerabatan (qarabah), atau disebut
juga sebab nasab (garis keturunan), yaitu antara mayit dan ahli waris ada
hubungan kekerabatan yang hakiki, baik hubungan ke atas (disebut ushul),
misalnya mayit dengan ibunya atau ayahnya; maupun hubungan ke bawah (disebut
furu') misalnya mayit dengan anaknya, cucunya, dst.
Kedua, sebab perkawinan (mushaharah), yaitu antara
mayit dengan ahli waris ada hubungan perkawinan, seperti mayit laki-laki dengan
istrinya. Yang dimaksud hubungan perkawinan adalah perkawinan yang sah menurut
hukum Islam walaupun belum pernah bercampur bukan perkawinan yang tak sah, dan
perkawinan yang masih utuh (tak bercerai) atau perkawinan yang dianggap utuh
(sudah bercerai) tapi masih dalam masa iddah untuk talak raj'i, bukan talak
ba`in.
Ketiga, sebab memerdekakan
budak (wala`), atau disebut juga sebab kekerabatan secara hukum (qarabah
hukmiyah), yaitu antara mayit dan ahli warisnya ada hubungan memerdekakan
budak. Jika seseorang memerdekakan budaknya, maka dia dan bekas budaknya akan
saling mewarisi. Jika yang memerdekakan itu meninggal dan tak ada ahli waris
dari pihak kerabat, bekas budaknya berhak mendapat warisannya. (Muslich Maruzi,
Pokok-Pokok Ilmu Waris, hal. 10; Imam Ar-Rahbi, Fiqih Waris (terj.), hal. 31;
Syifa'uddin Achmadi, Pintar Ilmu Faraidl, hal. 18).
Jelaslah anak tiri tidak berhak mendapat waris,
karena tidak terdapat sebab mewarisi (asbabul mirats) antara anak tiri dengan
orang tua tirinya. Kaidah fiqihnya : Zawal al- ahkam bi zawal asbabiha
(Hukum-hukum itu menjadi tiada disebabkan tiadanya sebab-sebabnya) (Izzuddin
bin Abdis Salam, Qawa'id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, Juz II hlm. 4).
Kaidah ini berarti jika sebab
suatu hukum tak ada, pelaksanaan hukum juga tak ada. Yang dimaksud sebab adalah
tanda-tanda (amarat) yang ditetapkan syara' untuk pelaksanaan suatu hukum
(Taqiyuddin An-Nabhani, Al- Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz III hal. 50).
Misalnya, tercapainya nishab untuk zakat, masuknya waktu untuk shalat, dan
rukyatul hilal untuk puasa Ramadhan. Jika sebab- sebab ini tiada, pelaksanaan
hukum pun juga tidak ada. Jika belum mencapai nishab, berarti belum wajib
zakat, jika belum masuk waktu berarti belum wajib shalat, dan jika belum ada
rukyatul hilal berarti belum wajib puasa. Demikian pula jika sebab mewarisi
(asbabul mirats) tak ada, hukum waris pun tak dapat dilaksanakan.
Namun demikian, boleh bahkan
disunnahkan orang tua tiri memberikan wasiat kepada anak tirinya, dengan syarat
harta yang diwasiatkannya tidak melebihi 1/3 (sepertiga). Jika melebihi 1/3
(sepertiga), pelaksanaan wasiatnya bergantung pada persetujuan para ahli waris.
Jika ahli waris setuju, wasiat boleh dilaksanakan. Jika ahli waris tidak
setuju, tak boleh dilaksanakan, dan hanya dilaksanakan sebanyak 1/3 saja.
(Abdullah at-Thayyar, Al-Washiyah Dhawabith wa Ahkam, hal. 23; Muslim Al-Yusuf,
Al-Washiyah Al-Syar'iyyah, hal. 14). Wallahu a'lam.[]
0 komentar:
Posting Komentar