Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru
kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: "Sesungguhnya aku
termasuk orang-orang yang berserah diri?" (TQS Fushilat [41]: 33).
Dakwah termasuk amal yang paling utama. Dengan dakwah, Islam
bisa tersebar ke seluruh dunia. Dengan dakwah pula, Islam bisa diwariskan dari
generasi ke generasi, sehingga dapat hidup sepanjang masa. Islam juga bisa
tegak secara kaffah di tengah kehidupan lantaran aktivitas dakwah. Banyak
sekali ayat maupun hadits yang memerintahkan kaum Muslim berdakwah. Pahala yang
disediakan bagi pelakunya juga amat besar dan berkelanjutan. Ayat ini adalah
salah satunya yang menjelaskan tentang keutamaan dakwah.
Perkataan Paling Baik
Allah Swt berfirman: Waman ahsanu qawl[an] min man
da’â ilâl-Lâh (dan siapakah yang lebih baik perkataannya
daripada orang yang menyeru kepada Allah). Secara dhahir, sebagaimana
dijelaskan al-Alusi, seruan yang dimaksud ayat ini adalah dengan lisan.
Sedangkan ilâl-Lâh (kepada
Allah SWT) di sini adalah mengajak kepada tauhid Allah dan taat kepada-Nya.
Demikian al-Syaukani dan al-Jazairi dalam tafsir mereka. Tidak jauh berbeda,
Abu Hayyan al-Andalusi mengatakan bahwa al-du’â`
ilâl-Lâh adalah dengan menyeru kepada Islam, jihad
melawan kaum kafir, dan menghentikan orang-orang zalim. Ini dari sisi perkara
yang diserukan.
Dari sisi pelaku atau
orang yang menyerukannya, ada yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengannya
adalah Rasulullah SAW. Ada pula yang menyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan
dengan muadzin. Namun jika dilihat lafadznya, kata man dalam
ayat ini adalah ism
al- istifhâm (kata
tanya). Kata tersebut memberikan makna umum. Karena bermakna umum, maka selama
tidak ada dalil yang mengkhususkan untuk sesuatu, tetap berlaku umum. Oleh
karena itu, kebanyakan mufassir, seperti al-Hasan, Mujahid, Ibnu Katsir,
al-Syaukani, al-Alusi, dan lain-lain mememilih kesimpulan bahwa ayat ini
berlaku umum yang mencakup semua orang yang menyeru kepada Allah SWT.
Sebagaimana telah
dijelaskan, kata man dalam
ayat ini adalah ism
al-istifhâm Akan tetapi, sebagaimana dijelaskan
al-Alusi, istifhâm tersebut
bermakna al-nafiyy (menegasikan).
Artinya, tidak ada perkataan dari seorang pun yang lebih baik daripada orang
yang menyeru kepada Allah. Menurut Fakhruddin al-Razi, ini menunjukkan bahwa
dakwah kepada Allah lebih baik daripada semua yang lainnya.
Telah maklum bahwa yang
dihasilkan oleh lisan adalah ucapan atau perkataan. Sebagaimana anggota badan
lainnya, apa yang dilakukan oleh lisan tersebut harus terikat dan sejalan
dengan hukum syara’. Kaum Muslim diperintahkan hanya berkata tentang Islam atau
setidaknya dibenarkan oleh Islam. Jika itu tidak bisa dilakukan, maka
diperintahkan untuk diam. Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang beriman
kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah dia berkata khayr atau diam (HR
al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan al-Tirmudzi dari Abu Hurairah). Ibnu Hajar
al-Asqalani dalam Fat-h al-Barri menyatakan
bahwa termasuk dalam cakupan ak-khayradalah
semua ucapan yang dituntut, baik yang difardhukan mapun yang disunnahkan.
Selain itu adalah syarratau
apa yang mengakibatkan kepada keburukan, maka diperintahkan untuk diam.
Perkataan yang berisi
ajakan dakwah kepada Allah dan agama-Nya jelas paling baik. Sebab, ucapan
tersebut tidak hanya menunjukkan kesempurnaan dirinya, namun juga dapat
menyempurnakan orang lain. Pahala yang diberikan kepada orang yang melakukan
aktivitas ini pun sangat besar. Rasulullah SAW bersabda: Demi Allah, sungguh satu orang
saja diberi petunjuk (oleh Allah) melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik
dari unta merah (HR
al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan al-Nasa’i). Ketika dakwahnya diterima,
pahala yang diberikan kepadanya pun terus mengalir. Rasulullah SAW juga
bersabda: Barangsiapa yang menunjukkan
kebaikan, maka dia mendapat semisal pahala pelakunya (HR
Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan Ahmad).
Bahkan dakwah yang
disampaikan kepada penguasa yang zalim disebut Nabi saw sebagai afdhal al-jihâd,jihad
yang paling utama (lihat HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Apabila gugur
dibunuh karena oleh penguasa yang dinasihatinya, dinyatakan sebagai sayyid al-syuhadâ`, pemimpin
para syuhada` (lihat HR al-Hakim dam al-Mustadrak). Itu
semua menunjukkan bahwa dakwah kepada Islam merupakan perkataan yang paling
baik.
Mempraktekkan Perkataannya
Di samping menyampaikan
dakwah kepada Allah, mereka juga mempraktikkan apa yang didakwahkan. Allah SWT
berfirman: wa ‘amila shâlih[an] (mengerjakan
amal yang shalih). Dijelaskan al-Syaukani, mengerjakan amal shalih adalah
menunaikan apa yang diwajibkan Allah dan menjauhi apa yang diharamkan atasnya.
Tak jauh berbeda, menurut Fakhruddin al-Razi, amal shalih meliputi ‘amal al-qulûb (aktivitas
hati), yakni ma’rifah; dan ‘amal
al-jawârih (aktivitas
dhahir, anggota badan), yakni seluruh ketaatan. Pendek kata, sebuah amal dapat
dikategorikan sebagai amal shalih manakala sejalan dengan ketentuan syara’.
Apabila bertentangan dengan syara’, amal tersebut merupakan sebuah kemunkaran
dan kemaksiatan; dan sudah pasti tidak bisa dikategorikan sebagai amal shalih.
Di samping itu, amal tersebut harus dilandasi oleh ikhlas karena
Allah SWT dan semata hanya mengharapkan ridha kepada-Nya. Perhatikan amal yang
dilandasi sikap ikhlas dalam beberapa firman-Nya (lihat QS al-Insan [76]: 9-10,
al-Lail [92]: 19-20).
Penyebutan amal shalih dalam ayat ini menunjukkan bahwa orang
yang menyampaikan dakwah kepada Islam harus mengamalkan apa yang disampaikan.
Perkataan dengan perbuatannya sejalan. Bahkan, dirinyalah orang yang paling
taat terhadap perkara yang didakwahkan.
Allah SWT mencela orang
yang hanya bisa memerintahkan kebaikan untuk orang lain namun justru melupakan
dirinya. Allah Swt berfirman: Mengapa
kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri
(kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (TQS
al-Baqarah [22]: 44). Juga dalam firman-Nya: Hai
orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat
besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu
kerjakan(TQS al-Shaff [61]: 2-3).
Menunjukkan Jati dirinya
Setelah itu Allah
berfirman: wa qâla innanî min al-Muslimîn (dan
berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri). Imam
al-Thabari menafsirkan ayat ini dengan ungkapan: Dan berkata, “Sesungguhnya aku
termasuk orang yang tunduk kepada Allah dengan ketaatan, merendahkan diri
kepada-Nya dengan penghambaan, dan berserah diri kepadanya dengan mengimani
keesaan-Nya.”
Menurut al-Nasafi, ini menunjukkan kebanggaan mereka terhadap
Islam atau kepercayaan terhadapnya. Selain itu, menurut al-Baidhawi, juga
menjadikan Islam sebagai agama dan madzhabnya. Ini seperti ungkapan: Ini adalah
pendapat Fulan untuk madzhabku. Atau ringkasnya, sebagaimana disimpulkan
al-Razi ini adalah ikrar dengan lisan.
Inilah perkataan
terbaik. Perkataan yang mengajak kepada Islam, disampaikan oleh orang yang taat
terhadap syariah, dan tanpa ragu bahkan bangga menunjukkan jati dirinya
sebagai kaum Muslim. Siapa pun yang ingin mendapatkan kemuliaan dari
Allah Swt, derajat dan martabat yang tinggi di sisi-Nya, dan kebahagiaan
hakiki, maka tiga sifat ini harus dimiliki. Semoga kita termasuk di dalamnya. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.
0 komentar:
Posting Komentar