Selasa, 17 April 2012

Perkataan yang Paling Baik


Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?" (TQS Fushilat [41]: 33).
Dakwah termasuk amal yang paling utama. Dengan dakwah, Islam bisa tersebar ke seluruh dunia. Dengan dakwah pula, Islam bisa diwariskan dari generasi ke generasi, sehingga dapat hidup sepanjang masa. Islam juga bisa tegak secara kaffah di tengah kehidupan lantaran aktivitas dakwah. Banyak sekali ayat maupun hadits yang memerintahkan kaum Muslim berdakwah. Pahala yang disediakan bagi pelakunya juga amat besar dan berkelanjutan. Ayat ini adalah salah satunya yang menjelaskan tentang keutamaan dakwah.

Perkataan Paling Baik
Allah Swt berfirman: Waman ahsanu qawl[an] min man da’â ilâl-Lâh (dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah). Secara dhahir, sebagaimana dijelaskan al-Alusi, seruan yang dimaksud ayat ini adalah dengan lisan. Sedangkan ilâl-Lâh (kepada Allah SWT) di sini adalah mengajak kepada tauhid Allah dan taat kepada-Nya. Demikian al-Syaukani dan al-Jazairi dalam tafsir mereka. Tidak jauh berbeda, Abu Hayyan al-Andalusi mengatakan bahwa al-du’â` ilâl-Lâh adalah dengan menyeru kepada Islam, jihad melawan kaum kafir, dan menghentikan orang-orang zalim. Ini dari sisi perkara yang diserukan.
Dari sisi pelaku atau orang yang menyerukannya, ada yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengannya adalah Rasulullah SAW. Ada pula yang menyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan muadzin. Namun jika dilihat lafadznya, kata man dalam ayat ini adalah ism al- istifhâm (kata tanya). Kata tersebut memberikan makna umum. Karena bermakna umum, maka selama tidak ada dalil yang mengkhususkan untuk sesuatu, tetap berlaku umum. Oleh karena itu, kebanyakan mufassir, seperti al-Hasan, Mujahid, Ibnu Katsir, al-Syaukani, al-Alusi, dan lain-lain mememilih kesimpulan bahwa ayat ini berlaku umum yang mencakup semua orang yang menyeru kepada Allah SWT.
Sebagaimana telah dijelaskan, kata man dalam ayat ini adalah ism al-istifhâm Akan tetapi, sebagaimana dijelaskan al-Alusi, istifhâm tersebut bermakna al-nafiyy (menegasikan). Artinya, tidak ada perkataan dari seorang pun yang lebih baik daripada orang yang menyeru kepada Allah. Menurut Fakhruddin al-Razi, ini menunjukkan bahwa dakwah kepada Allah lebih baik daripada semua yang lainnya.
Telah maklum bahwa yang dihasilkan oleh lisan adalah ucapan atau perkataan. Sebagaimana anggota badan lainnya, apa yang dilakukan oleh lisan tersebut harus terikat dan sejalan dengan hukum syara’. Kaum Muslim diperintahkan hanya berkata tentang Islam atau setidaknya dibenarkan oleh Islam. Jika itu tidak bisa dilakukan, maka diperintahkan untuk diam. Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah dia berkata khayr atau diam (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan al-Tirmudzi dari Abu Hurairah). Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fat-h al-Barri menyatakan bahwa termasuk dalam cakupan ak-khayradalah semua ucapan yang dituntut, baik yang difardhukan mapun yang disunnahkan. Selain itu adalah syarratau apa yang mengakibatkan kepada keburukan, maka diperintahkan untuk diam.
Perkataan yang berisi ajakan dakwah kepada Allah dan agama-Nya jelas paling baik. Sebab, ucapan tersebut tidak hanya menunjukkan kesempurnaan dirinya, namun juga dapat menyempurnakan orang lain. Pahala yang diberikan kepada orang yang melakukan aktivitas ini pun sangat besar. Rasulullah SAW bersabda: Demi Allah, sungguh satu orang saja diberi petunjuk (oleh Allah) melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan al-Nasa’i). Ketika dakwahnya diterima, pahala yang diberikan kepadanya pun terus mengalir. Rasulullah SAW juga bersabda: Barangsiapa yang menunjukkan kebaikan, maka dia mendapat semisal pahala pelakunya (HR Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan Ahmad).
Bahkan dakwah yang disampaikan kepada penguasa yang zalim disebut Nabi saw sebagai afdhal al-jihâd,jihad yang paling utama (lihat HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Apabila gugur dibunuh karena oleh penguasa yang dinasihatinya, dinyatakan sebagai sayyid al-syuhadâ`, pemimpin para syuhada` (lihat HR al-Hakim dam al-Mustadrak). Itu semua menunjukkan bahwa dakwah kepada Islam merupakan perkataan yang paling baik.
Mempraktekkan Perkataannya
Di samping menyampaikan dakwah kepada Allah, mereka juga mempraktikkan apa yang didakwahkan. Allah SWT berfirman: wa ‘amila shâlih[an] (mengerjakan amal yang shalih). Dijelaskan al-Syaukani, mengerjakan amal shalih adalah menunaikan apa yang diwajibkan Allah dan menjauhi apa yang diharamkan atasnya. Tak jauh berbeda, menurut Fakhruddin al-Razi, amal shalih meliputi ‘amal al-qulûb (aktivitas hati), yakni ma’rifah; dan ‘amal al-jawârih (aktivitas dhahir, anggota badan), yakni seluruh ketaatan. Pendek kata, sebuah amal dapat dikategorikan sebagai amal shalih manakala sejalan dengan ketentuan syara’. Apabila bertentangan dengan syara’, amal tersebut merupakan sebuah kemunkaran dan kemaksiatan; dan sudah pasti tidak bisa dikategorikan sebagai amal shalih.
Di samping itu, amal tersebut harus dilandasi oleh ikhlas karena Allah SWT dan semata hanya mengharapkan ridha kepada-Nya. Perhatikan amal yang dilandasi sikap ikhlas dalam beberapa firman-Nya (lihat QS al-Insan [76]: 9-10, al-Lail [92]: 19-20).
Penyebutan amal shalih dalam ayat ini menunjukkan bahwa orang yang menyampaikan dakwah kepada Islam harus mengamalkan apa yang disampaikan. Perkataan dengan perbuatannya sejalan. Bahkan, dirinyalah orang yang paling taat terhadap perkara yang didakwahkan.
Allah SWT mencela orang yang hanya bisa memerintahkan kebaikan untuk orang lain namun justru melupakan dirinya. Allah Swt berfirman: Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (TQS al-Baqarah [22]: 44). Juga dalam firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan(TQS al-Shaff [61]: 2-3).
Menunjukkan Jati dirinya
Setelah itu Allah berfirman: wa qâla innanî min al-Muslimîn (dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri). Imam al-Thabari menafsirkan ayat ini dengan ungkapan: Dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang yang tunduk kepada Allah dengan ketaatan, merendahkan diri  kepada-Nya dengan penghambaan, dan berserah diri kepadanya dengan mengimani keesaan-Nya.”
Menurut al-Nasafi, ini menunjukkan kebanggaan mereka terhadap Islam atau kepercayaan terhadapnya. Selain itu, menurut al-Baidhawi, juga menjadikan Islam sebagai agama dan madzhabnya. Ini seperti ungkapan: Ini adalah pendapat Fulan untuk madzhabku. Atau ringkasnya, sebagaimana disimpulkan al-Razi ini adalah ikrar dengan lisan.
Inilah perkataan terbaik. Perkataan yang mengajak kepada Islam, disampaikan oleh orang yang taat terhadap syariah, dan tanpa ragu bahkan bangga menunjukkan jati dirinya  sebagai kaum Muslim. Siapa pun yang ingin mendapatkan kemuliaan dari Allah Swt, derajat dan martabat yang tinggi di sisi-Nya, dan kebahagiaan hakiki, maka tiga sifat ini harus dimiliki. Semoga kita termasuk di dalamnya. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.

0 komentar:

Posting Komentar